BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’anul karim adalah kitab Allahyang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw, mengandumg hal-hal yang berhubungan denganm keimanan, ilmu pengetahuan,
kisah-kisah, filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata
cara hidup manusia, baik sebagai makhluq individu ataupun sebagai makhluq
sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Al-Qur’anul karim dalam menerangkan
hal-hal tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang
berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara umum dan
garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan dan garis-garis besarnya
ini, ada yang diperinci dan dijelaskan hadits-hadits nabi muhammad SAW, dan ada
yang di serahkan pada kaum muslimin sendiri yang disebut ijtihad.
Dan tafsir al-Qur’an berkembang
mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu
generasi. Tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir al-qur’an yang
sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu dengan tidak menympang dari
hukum-hukum agama.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian Terjemah, Ta’wil dan Tafsir ?
2. Apakah
perbedaan Terjemah, Ta’wil dan Tafsir ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Terjemah, Ta’wil dan Tafsir
1.
Terjemah
Secara
harfiah,terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu
bahasa ke bahasa lain. [[1]]
Terjemah, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah translation, dan dalam literatur Arab dikenal dengan tarjamah, ialah usaha menyalin atau
menggantikan suatu bahasa melalui bahasa lain supaya dipahami oleh orang lain
yang tidak mampu memahami bahasa asal atau aslinya.
Dari
paparan singkat tentang pengertian terjamah diatas, dapat disimpulkan bahwa
terjemah pada dasarnya ialah menyalin atau mengalihbahasakan serangkaian
pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, dengan maksud supaya inti pembicaraan
bahasa asal yang diterjemahkan bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak mampu
memahami langsung bahasa asal yang diterjemahkan.
Orang
yang menerjemahkan sesuatu, termasuk Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia disebut
pnerjemah, juru terjemah atau juru bahasa,sedangkan dalam bahasa Arab, disebut mutarjim, tarjuman, atau turjuman.
Ø Macam
– macam Terjemah
Pengertian tarjamah dibedakan dalam dua macam: tarjamah
harfiah dan tarjamah tafsiriah.
a. Tarjamahan
harfiah,
adalah
mengalihkan lafazh-lafazh dari satu bahasa kedalam lafazh-lafazh yang
serupa dari bahasa lain yang sedemikian rupa, sehingga susunan dan tertib
bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
b. Tarjamah
tafsiriyah atau terjemahan maknawiyah,
yaitu menjelaskan makna pembicaraaan
dengan bahasa lain tanpa terikat dengan susunan kata-kata bahasa
asal atau perhatian susunan kalimatnya.[[2]]
Muhammad Husayn al-Dzahabi membedakan tarjamahharfiah
dalam dua metode: tarjamahharfiah bi al-mitsil dan harfiah bi ghair mitsil. Tarjamahharfiah bi al-mitsiladalah
terjemahan yang dilakukan apa adanya yang terikat oleh susunan dan
struktur bahasa yang diterjemahkan. Sedangkan tarjamahharfiah bi ghair mitsil adalah terjemahan yang lebih
longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa
yang di terjemahka.[[3]]
Perlu diketahui bahwa terjemahan tafsiriah
tetap berbeda dengan tafsir, dengan perkataan lain terjemahan tafsiriah
bukan tafsir. “perbedan diantara keduanya sedemikian jelas” seperti yang
diungkapkan oleh Huzain al-Dzahabi:
a. Bahasa yang digunakan, oleh bahasa tafsir
dimungkinkan sama persis dengan bahasa asli (misalnya al-Qur’an yang di tafsirkan),
sedangkan tarjamahtafsiriah pasti menggunakan bahasa yang
berbeda dari bahasa asli yang di terjemahkan.
b. Dalam tafsir, pembaca kitab atau buku tafsir
dimungkinkan melacak buku (teks) aslinya ketika ia menemui keraguan. Ini
berbeda dengan terjemahan tafsiriah yang tidak muda untuk
mengecek aslinya ketika ia menemui keraguan atau kesalahan.
Sebagai contoh

Jika ayat tersebut diterjemahkan secara harfiah, maka pengertiannya berarti
Allah melarang seseorang membelenggu atau mengikat tangannya diatas pundaknya.
Padahal yang dimaksut oleh QS.Al-Isra’:29 adalah larangan bersikap pelit dalam
membelanjakan harta disamping melarang sikap boros.
Ø Syarat –
syarat Penerjemah ( Mutarjim )
Kegiatan
menerjemah, lebih-lebih menerjemahkan Al-qur’an kedalam bahasa asing, bukan
merupakan perbuatan mudah yang bisa dilakukan sembarang orang, kapan dan
dimanapun. Kegiatan menerjemah tergolong kedalam pekerjaan berat meskipun tidak
berarti mustahil dilakukan seseorang terutamaoleh mereka yang berbakat dan
berminat untuk menjadi murtajim. Bahkan, bagi penerjemah yang profesional,
boleh jadi tidak mengalami kesulitan berarti dalam menerjemahkan buku dan
lain-lain, termasuk kitab suci Al-qur’an.
Seseorang
calon murtajim harus memenuhi beberapa persyaratan. Diantara syarat-syarat
terpenting yang dimaksudkan menurut al-Dzahabi ialah sebgai berikut : [[4]]
1. Murtajim
Al-qur’an pada dasarnya harus memenuhi prasyarat yang dikenakan pada musafir
seperti memiiki itikad yang baik, niat yang lurus, menguasai ilmu-ilmu yang
diperlukan.
2. Murtajim
Al-qur’an harus memiliki akidah Islamiah yang kuat dan lurus.
3.
Murtajim harus menguasai dengan baik dua bahasa yang
bersangkutan,
2.
Ta’wil
Ta’wil
menurut bahasa berasal dari kata “aul” (الأول ) yang
berarti kembali. Seorang mufassir adalah seorang yang
mengartikan sebuah ayat dalam arti yang lain.[[5]]
Menurut ulama tafsir, ta’wil berarti:
·
Menerangkan atau menjelaskan apa yang terdapat dalam
kalimat, baik itu yang sesuai dengan teksnya atau berlainan. Dalam hal ini ta’wil
adalah sinonim dari tafsir.
·
Memalingkan makna ayat kepada makna yang lebih kuat
dari makna yang tanpa saja, seperti mengalihkan perhatian “membelenggu
tangan leher” kepada “kikir” atau “merentangkan tangan”
kepada pemurah.
Menurut
Prof. Dr. M. Qurais Shihab, ta’wil berarti suatu kata atau kalimat yang
pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal-harfiaf)
dialihkan kepada makna lain, yaitu mengarahkan pandangan
kepada makna batiniah.[[6]]
Menurut
Manna Khalil al-Qattan dikatakan : “ آل إليه أولا
ومالا “ artinya
kembali kepadanya . “ أو كلاما تأويلا“ artinya memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya.
Ta’wil secara
leksikal bermakna memulangkan atau mengembalikan lafadz dari makna lahiriyah
(eksoterik) kepada makna yang dimungkinkan dengan syarat makna yang
selaras dan sejalan dengan al-Qur’an dan hadis.[7]
3.
Tafsir
Dilihat dari bentuknya, kata tersebut adalah bentuk mashdar dari kata kerja
“fassara” yang berakar dari huruf-haruf “fa, sin, ra”,
yang bermakna pokok keadaan, jelas (nyata) dan aktifitas yang memberikan
penjelasan. Secara leksikal, kata kerja “fassara-Yufassiru-tafsiiran”
bermakna wadhdaha (menjelaskan), kasyf al-mughaththa, (membuka sesuatu
yang tertutup), kasyf al-muradhi ‘an al-lafzhal-musykil (mengungkapkan
maksud yang dikehendaki oleh lafal yang musykil.
Al-Jarjuni berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa
adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan
melahirkan.
Adapun pengertian tafsir berdasarkan istilah,
para ‘ulama mengemukakan dengan redaksi yang berbeda-beda diantaranya:
1)
Menurut Abu Hayyan:Tafsir ialah ilmu yang
membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an dan
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik yang berdiri sendiri maupun
makna-maknanya telah tersusun yang memungkinkan baginya dapat
melengkapinya.[[8]]
2)
Menurut az-Zarkasyi: Tafsir adalah ilmu
untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad saw, untuk
menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum beserta hikmahnya.
3)
Menurut al-Kilabi: Tafsir adalah menjelaskan al-Qur’an
dan menerangkan maknanya, serta menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat
atau tujuannya.
4)
Menurut Ali al-Hasan: Tafsir adalah ilmu yang
membahas al-Qur’an dari aspek pengetahuan dan pemaham berdasarkan
kemampuan manusia.
Menurut
Prof. Dr. Mardan pengertian tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa
ada tiga konsepsi yang terkandung dalam istilah tafsir, yaitu:
1)
Kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami dan
menjelaskan kandungan al-Qur’an.
2)
Ilmu atau pengetahuan yang digunakan dalam kegiatan
tersebut bersifat ilmiah.
3)
Ilmu pengetahuan merupakan hasil kegiatan
ilmiah.[[9]]
Berdasarkan
beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ulama tafsir di atas, maka
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa tafsir adalah suatu hasil
usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad dalam mengkaji al-Qur’an yang
terkandung nilai didalamnya.
B.
Perbedaan
Terjemah, Ta’wil dan Tafsir
Sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan tafsir adalah lebih umum
daripada ta’wil, sehingga ta’wil hanya memberikan kefahaman secara cepat
sedangkan tafsir memberikan kefahaman secara mutlak baik dengan cepat atau
tidak.
Segagian lagi berpendapat bahwa tafsir mencakup memperjelas ta’wil,
sehingga :

Perbedaan
tafsir dengan terjemah, baik terjemah harfiyah maupun tafsiriyah antara lain:
1) pada
terjemah terjadi perpindahan bahasa dengan kata tidak ada lagi bahasa pertama
yang melekat pada bahasa terjemah, tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir
selalu ada keterkaitan pada bahasa asalnya
2) pada
terjemah tidak boleh melakukan istidhrad yaitu penguraian yang meluas yang melebihi
dari sekedar pemindahan bahasa, sedangkan tafsir boleh.
3) pada
terjemah dituntut terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada pada bahasa yang
diterjemahkan, tidak halnya demikian dengan tafsir.
4) pada
terjemah harus diakui bahwa sipenterjemah sudah melakukan terjemahan,sejau ia
telah berhasil memindahkan makna bahasa pertama kebahasa terjemah,sedangkan
tafsir tidak.
C.
Klasifikasi
Tafsir
Adapun
klasifikasi tafsir Al-Qur'an ditinjau dari sumber penafsirannya dapat
dibagi menjadi:
1) Tafsir bi al-Matsur
Sebagaimana dijelaskan al-farmawi, tafsir
bi al-ma’tsur (disebut pula abi ar-riwayah dan an-naql)
adalah penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan al-Qur’an, Rasul,
para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in. Jadi, bila merujuk pada definisi
di atas, ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-ma’tsur.
Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ [البقرة/187]
Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang
dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.
الَّذِينَ
آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ
وَهُمْ مُهْتَدُونَ [الأنعام/82]
Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada
ayat :
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
[لقمان/13]
Ø Keistimewaan tafsir bil ma’tsur antara lain :
1) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami
Al-Quran
2) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika
menyampaikan pesan-pesannya
3) Mengikat mufasir dalam bingkai ayat-ayat sehingga
membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.
Ø Kelemahan tafsir bil ma’tsur antara lain :
1) Terjadi pemalsuan (wadh’) dalam tafsir
2) Masuknya
unsur israiliyat (unsur Yahudi dan Nasrani kedalam penafsiran Al-Quran)
3) Penghilangan sanad
4) Mufasir
terjerumus dalam uraian kebahasan/sastra hingga pokok Al-Quran tidak jelas
5) Konteks
asbabun nuzul ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian (nasikh mansukh)
2) Tafsir bi ar-Rayi
Berdasarkan pengertian etimologi,
ra’yi berarti keyakinan (I’tiqad). Analogi (qiyas), dan ijtihad.) dan ra’yi
dalam terminologi tafsri adalah ijtihad.) dengan demikian, tafsir bi ar-ra’yi
(disebut juga tafsri bi ad-dirayah)
sebagaimana didefinisikan Husen adz-Dzahabi- adalah tafsir yang
penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufasir yang
telah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta
problema penafsiran, seperti asbab an-nuzul, naskh-mansukh, dan
sebagainya. Al-Farmawi mendefinisikan tafsri bi ar-Ra’yi sebagai penafsiran
al-Qur’an dengan ijtihad setelah mufasir yang bersangkutan mengetahui
metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan ia pun mengetahui
kosakata Arab beserta muatan artinya.
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk
jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.
Corak Tafsir Bir Ra’yi dibagi menjadi dua, yaitu :
Ø Bir ra’yi
yang diterima, syaratnya :
1) Tidak memaksakan diri untuk mengetahui makna
2) Tidak menafsirkan ayat yang maknanya otoritas Allah
3) Tidak menafsirkan dengan hawa nafsu
4) Tidak menafsirkan untuk mendukung suatu mazhab
5) Tidak menafirkan inilah maksud ayat ini
Ø Bir ra’yi
ditolak
Yaitu tafsir
bi ra’yi yang tidak memenuhi syarat di atas.
3) Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang
zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran
sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu
yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di
balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari
limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir
Isyari.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain
adalah pada ayat:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً [البقرة/67]
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir
Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
nafsu hewaniah...”.
DAFTAR
PUSTAKA
Husain Dzhabi, Muh. al-Tafsir wa
al-Mufassirun, jil. I, Ainurafiq, Jakarta, Putaka al Qausar, 2006
Shihab, M. Quraish. Membumikan
Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat ,
Bandung : Mizan , 1993
Syarif Jurjani, Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an Penerjemah :
H.
al-Qattan, Manna Khalil Mabahis fi ulumil Qur’an., terj. Mudzakir
AS, Studi Ilmu-ilmu Al-AQur’an . Cet.III ;Bogor: Pustaka Litera
Antarnusa, 1996.
Mardan, Sebuah Pengantar
Al-Qur’an Memahami Al-Qur’an secara Utuh Editor II Abu Rauh
Amin. Jakarta Pustaka Mapan, 2009.
M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an /Tafsir Cet 14- Jakarta Bulang Bintang. 1992
Nawawi, Rifat Syauqi dan Muhammad Ali
Hasan. Pengantar Ilmu Tafsir Jakarta: Bulan Bintang , 1998
Thabathaba’i, Muhammad
Husain. Al-Qur’an fi Al-Islam.,terj. A. Malik Madaniy dan Hamim
Ilyas, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an , Edisi Two in one Cet.
I;Bandung: Mizan , 2009
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,
jakarta,2013,RajaGrafindo Persada
[1] Tim
penyusun kamus pusat pembinaan bahasa Indonesia departemen pendidikan dan
kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta,1989,Hlm.938
[2]Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Qur’an Penerjemah
: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Editor: Abdul Zulfidar Akaha, Lc. (Cet. 1--
Jakarta Pustaka Al-Kausar 2006), hlm, 395
[3] Muhammad
Amin Suma, Ulumul Qur’an, jakarta,2013,RajaGrafindo Persada,hlm.114
[4] Ibid.hlm.116-118
[5] Muhammad
Ali Ash-Shabuni, At-tibyaan fii Uluumil Qur’an., diterjamahkan.
Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur’an (Cet.I; Bandung : CV. Pustaka Setia,
1999), hlm. 245
[6]bid,
hlm. 230
[7] Sayid
Syarif Jurjani, al-Ta'rifat., hlm. 43
[8] Syaikh
Manna, Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Cetakan ke III
Pustaka Al-Kautsar, 2008). Hlm.456
[9] Mardan, Sebuah
Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh.( Editir II. Abdul Rauf
Amin,--Jakarta: Pustaka Mapan 2009). hlm. 230




0 komentar:
Posting Komentar